"Biaya Sosial" Akibat Merokok

Sunday, September 12, 2010 at 7:24 PM

(Majalah Tarbawi, Edisi 104 Th. 7/Shafar 1426H/17 Maret 2005)

Oleh Tulus Abadi, SH
Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Komnas PMM
Penerima Tobacco Control Fellowship Programs, Bangkok 2003

    Masyarakat DKI Jakarta dibuat kaget, bukan oleh serangan wabah DBD, bukan
pula serangan teroris; tetapi oleh rokok. Pasalnya Gubernur DKI Jakarta
Sutiyoso melansir kebijakan baru bertajuk larangan merokok di tempat umum.
Yang membuat publik kaget, bukan karena larangannya, tetapi lebih karena
hukumannya yang setinggi langit, Rp. 50 juta dan kurungan 6 bulan.

    Keterkejutan publik, secara sosiologis layak dipahami. Alasannya, hingga
detik ini, bahaya rokok di Indonesia masih menjadi "isu pinggiran".
Pemerintah, dan bahkan tokoh masyarakat (seperti ulama) juga masih setali
tiga uang. Paling banter ulama di Indonesia hanya memberikan fatwa merokok
makruh hukumnya. Berbeda dengan jumhur ulama di berbagai negara di Timur
Tengah, bahkan Malaysia dan Brunei Darussalam; yang memfatwakan bahwa
merokok haram hukumnya. Ulama terkenal Syeikh Yusus Qordhowi termasuk ulama
yang mengharamkan merokok (baca Fatwa-Fatwa Kontemporer).

   Mungkin masyarakat sudah mengerti bahayanya, karena dalam setiap bungkus
rokok ada peringatan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin.


   Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya
menurut WHO, tetapi, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membutikan hal itu.
Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43
diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai
zat berbahaya itu, adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin.

   Akibatnya, berbagai penyakit kanker pun mengintai, seperti : kanker paru -
90% kanker paru pada laki-laki disebabkan rokok, dan 70% untuk perempuan,
kanker mulut, kanker bibir, asma, kanker leher rahim, jantung koroner, darah
tinggi, stroke, kanker darah, kanker hati, bronchitis, kematian mendadak
pada bayi, bahaya rusaknya kesuburan bagi wanita dan impotensi bagi kaum
pria. Kurang apalagi?


   Begitu kompleksnya, tidak heran jika menurut estimasi WHO, pada 2020 dampak
tembakau di negara maju mulai menurun. Pada 1996 mencapai 32%, namun pada
2001 hanya 28%. Namun, di negara-negara berkembang trend konsumsi tembakau
malah mengalami kenaikan, yaitu 68% pada 1996, menjadi 72% pada 2001. Wjar,
jika hampir 50% (sekitar 4,2 juta jiwa) kematian akibat tembakau pada 2020
terjadi di wilayah Asia, khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia.

   Dampak bahaya rokok memang antik dan klasik. Tidak ada orang mati mendadak
karena merokok. Dampaknya tidak instant, beda dengan minuman keras dan
narkoba. Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan.

   Anehnya pula, dampak asap rokok bukan hanya untuk di si perokok aktif
(active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi perokok pasif
(passive smoker). Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi terpapar
asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskna pada asap
rokok oleh si perokok. Sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah
menghirup racun dua kali lipat.

   Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok semau gue, WHO
mencanangkan program "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) di tempat-tempat umum.
Progam seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN;
Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Di Malaysia, organ merokok di tempat
umum didenda 500 ringgit, di Bankok didenda 2.000 baht.

   Oleh sebab itu, kebijakan Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak
mendapatkan dukungan publik. Hanya, yang perlu dipertanyakan adalah, selain
besarnya denda, juga bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Sebab, berbagai hal
kasat mata dan lebih konkrit dampaknya (banjir, sampah, dan kemacetan)
hingga kini tidak pernah beres, apalagi masalah rokok?

   Kebijakan KTR yang digagas oleh Pemda DKI Jakarta, sebenarnya, bukan yang
pertama kali. Peraturan Pemerintah No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih dahulu
mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum, Tetapi, sialnya, PP
tersebut tidak bisa memberikan sanksi. PP tersebut malah memerintahkan agar
setiap Pemda di Indonesia membuat aturan tersendiri tentang KTR (Perda).

   Apalagi WHO sekarang sudah menerapkan konvensi bernama FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control). Saat ini, FCTC sudah ditandatangani oleh
lebih dari 160 negara anggota WHO, dan lebih dari 40 negara telah
meratifikasinya, Sekarang FCTC sudah menjadi hukum internasional. Sayangnya,
Pemerintah Indonesia, sebagai salah satu pengagas dan legal drafter, hingga
batas akhir juni 2004, tidak menandatangani FCTC!

   FCTC, selain mengatur soal larangan merokok di tempat umum, setiap
Pemerintah bahkan "dibimbing" untuk menanggulangi dampak tembakau secara
elegan, dan komprehensif. Misalnya menaikan cukai rokok, larangan iklan di
media massa dan promosi dan larangan penyeludpan (smuggling).

   Menaikan cukai rokok, merupakan instrumen penting, selain untuk membatasi
segmentasi perokok, juga untuk meningkatkan pendapatan negara. Tapi sungguh
ironis, mayoritas perokok di Indonesia adalah orang miskin. Menurut survei
Bappenas (1995), orang miskin justru mengalokasikan 9% total pendapatannya
untuk rokok. Betapa besar manfaatnya, jika dana itu digunakan untuk
kesehatan, pangan, atau pendidikan.

   Rokok memang memberikan kontribusi signifikan, berupa cukai, bayangkan,
tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp. 27 trilyun. Belum lagi kontribusi sektor
pertanian dan tenaga kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka.
Sebagai contoh, jika Pemerintah mendapatkan Rp. 27 trilyun, berapa
sebenarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat?
Menurut data di berbagai negara, dan juga Indonesia , biaya kesehatan yang
ditanggung oleh Pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai
yang didapatkan. Jadi, kalau cukainya Rp. 27 trilyun maka biaya kesehatannya
sebesar Rp. 81 trilyun (alias defisit).

   Cepat atau lambat, Pemerintah harus mengambil kebijakan konkrit dan
komprehensif untuk penangulangan bahaya rokok. Jika tidak, bukan hal yang
mustahil berbagai penyakit yand diakibatkan rokok akan menjadi wabah
membahayakan lebih besar dari wabah HIV/AIDS. Jangan "menggadaikan"
kesehatan anak bangsa, hanya karena takut kehilangan Rp. 27 trilyun, yang
sebenarnya hanya ilusi dan jebakan maut belaka.(ed)

0 comments

Post a Comment